Bukber

 “Ayo Bukber” Tetap Kelas Burjois, Tidak Hedonis, dibumbui rasa Filantropis
Alfian Ziza
            Bulan Ramadhan merupakan bulan penuh berkah, bagi mahasiswa dengan visi hidup makan apa saja asal kenyang seperti saya ini, ramadhan menjadi berkah sendiri di tanah perantauan. Tidak susah untuk mencari takjil dan makanan untuk berbuka puasa. Karena hampir semua masjid pasti menyediakannya. Tidak lupa kiriman ayam bakar dari bapak kos, atau kemarin tetangga kamar saya baru saja mendapat rejeki mie instan satu kardus dan susu kaleng yang hamper kadaluarsa, hamper lho yaa.. kira-kira satu bulan lagi kadaluarsa laah.. tapi lumayan siihh..  

Kalau urusan buka puasa sudah selesai, maka target selanjutnya adalah urusan makan sahur. Kalau saya sendiri tidak menentu setiap hari makan sahur, paling sekedar minum air putih segelas dan makan 3 biji kurma yang didapat sore hari ketika mencari takjil ke masjid-masjid yang memang sengaja disimpan untuk sahur itu sudah cukup. Sedih amat ya hidup saya..  Dan pilihan paling tepat untuk sahur adalah warung burjo. Warung burjo ini memang suupeerr. Gimana tidak? Namanya warung burjo, singkatan dari warung bubur kacang ijo, tapi menu bubur kacang ijo malah bukan menu favorit lagi—bahkan beberapa oknum warung kedapatan tidak lagi menyediakan menu bubur kacang ijo. Wah.. bisa dapat teguran dari komisi disiplin per-burjo-an Indonesia tuh..hehehe Setalah istilah Burjo, muncul-lah istilah Burjois, yang memiliki tafsir orang-orang yang suka makan di warung burjo yang mudah ditemukan setiap 200 meter di daerah sekitar kampus dengan ciri khas pelayannya kebanyakan akang-akang sunda. Istilah Burjois lumayan masyhur bagi beberapa kalangan mahasiswa di kampus saya, Ingat lho yaa.. Burjois bukan Borjuis.. kata kawan saya itu.. Dan yang terpenting warung burjo itu buka setiap saat daan MUURAAHH….

            Oke, kita lanjutkan pembahasannya….

            Dalam tulisan yang terinspirasi dari kawan saya, alkisah ada dilematisasi seorang mahasiswa yang mengikuti buka bersama teman seangkatan kuliahnya. Diriwayatkan dia merasa bertanya-tanya dengan acara buka bersama tersebut, dengan biaya selangit, konsep pesta kebun gitu-gitu fufufu~, dan yang paling absurd dikabarkan hendak mengundang DJ namun batal, apa daya mungkin semesta tak mendukung. Jika saya jadi mahasiswa tersebut (kawan saya), saya juga pasti muak melihat semua hal itu, bukankah tujuan utama dari buka bersama adalah menjalin silaurahmi, bersosialisasi, berinteraksi, apalagi seperti mahasiswa tingkat akhir seperti saya Eeehh.. yang sedang menikmati masa-masa akhir kuliah. Tapi apakah harus semewah dan semahal itu? Apakah harus di hotel? Apakah harus mengundang DJ juga? Dengan biaya yang dikabarkan bisa untuk makan seminggu di warung burjo, sungguh sangat hedonis sekali Oh.. milenial… Setelah di survey, ternyata banyak juga acara serupa yang diadakan teman-teman saya yang lain Oh.. Ampun milenial..

            Sampai pada akhirnya hal yang tidak kunantikan telah tiba, yaitu undangan bukber dari angkatan saya sendiri. Setalah melihat pamfletnya, Eeiitss tunggu dulu.. Kok Murah? Kok ngga mahal? Sederhana nih? Hah? Apa? Sebagian iuran digunakan untuk donasi ke panti asuhan? Seketika berubah pikiran yang awalnya seperti bukber yang tidak dinantikan, menjadi bukber yang dinanti-nanti. Konsep yang diusung teman-teman seangkatan saya ini kalau boleh diberi nilai 1-10 ya dapat nilai 8 lah, karena nilai 10 milik Tuhan dan nilai 9 itu milik dosen xixixixi~

            Jadi di acara bukber jurusan angkatan saya ini, tempatnya pinjam auditorium kampus (Gratis), biaya iuran sepadan dengan anggaran makan satu hari bagi mahasiswa (dengan estimasi makan di burjo), mengundang dosen untuk mengisi tausyiah (bukan DJ wkwkwk), dan yang paling membuat saya terkagum-kagum sebagian iuran yang kita kumpulkan tidak hanya digunakan untuk keperluan agenda bukber itu saja semacam beli makan takjil dll, tapi juga akan di donasikan ke panti asuhan yatim piatu, Sungguh mulia sekali. Tidak Hedonis, Ada rasa Filantropis. Dan tidak kalah penting itu esensi acara bukber tersebut sebagai ajang kumpul dan silaturahmi satu angkatan satu jurusan, karena ini tahun terakhir masa kuliah, itung-itung sebagai absen akhir di tahun terakhir merasakan bulan ramadhan terakhir di kampus sebelum nantinya diwisuda, pergi meninggalkan almamater tercinta mengejar ambisi dan mimpi masing-masing.

Saya bangga punya teman kuliah satu angkatan seperti kalian. Memiliki visi yang sama sebagai sesama kaum burjois, yang tidak hedonis

Kalau meminjam kalimat om Rocky Gerung “ Pernah itu kata yang paling sempurna, ia melampaui sudah, dan menjadikannya masih”. Saya senang pernah bersama kalian, sudah bersama kalian, dan sampai saat ini masih bersama kalian. Fufufu~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Film Fury

SEDIKIT TENTANG DINDING PENAHAN

Catatan Ramadhan 1439H