Resensi Film Fury

FURY “Melihat perang dunia ke II lewat pasukan Tank”

Oleh: Alfian Ziza

Sutradara: David Ayer
Produksi: Sony Picture
Tahun : 2014

“Ideologi itu damai, namun sejarah itu kejam” salah satu dialog yang disampaikan Sersan wardaddy yang diperankan oleh Brad Pitt kepada Norman (Logan Lermann) seorang juru ketik yang terpaksa dijadikan tentara dadakan Amerika Serikat dan akhirnya menjadi crew tank yang dipimpin wardaddy setelah mereka kehilangan salah satu anggotanya yang gugur. 
Perang adalah antithesis humanisme, dimana dalam perang tak pernah ada yang menang karena yang kalah akan terbubuh dan yang menang juga pasti akan mati. Film ini mengajak kita untuk melihat secara dekat gambaran perang dunia ke II antara tank melawan tank, prajurit melawan prajurit dan kekejaman yang terjadi selama masa peperangan. Film ini menjadi salah satu film kesukaan saya, karena film ini mampu menggambarkan secara detail dan nyata realita yang terjadi pada saat perang dunia ke II namun lebih terfokus pada tentara tank antara Amerika dan tentara NAZI.
Film FURY dimulai ketika di garis depan peperangan hanya tersisa satu tank yang dipimpin sersan Wardaddy yang berhasil kembali dengan selamat ke barak militer tentara Amerika dan mendapat crew baru karena salah satu dari mereka telah gugur. Norman sebagai crew baru dan tentara yang dipaksakan merupakan seorang juru ketik. Hal yang menarik adalah Norman tidak sepakat dengan peperangan dan pembunuhan, pada salah satu adegan menggambarkan dimana norman takut untuk membunuh, namun dipaksa oleh wardaddy untuk membunuh salah satu tentara NAZI. Namun pada akhirnya Norman menemukan amarahnya sendiri kepada pasukan NAZI, dan kekejaman yang ia temui yang membuatnya berbalik arah yang tadinya enggan untuk menembak musuh menjadi sebaliknya, ia memiliki semangat dalam berperang.    
Film ini bertutur tentang pergolakan psikis para tentara. Bagaimana perang telah memaksa orang baik harus merenggut nyawa dan kematian seolah begitu dekat seperti bayangan yang terus menerus mengejar karena setiap detik tidak bisa diprediksi apakah besok masih bisa hidup atau tidak. Pertentangan emosi seorang Norman yang idealis menjadi pemanis tersendiri dalam film ini. Seorang juru ketik yang takut bunyi senjata, yang terpaksa harus menerima kondisi akibat peperangan.

  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEDIKIT TENTANG DINDING PENAHAN

"aksi" tidak sekedar di "story"